Balangpasui: Memori yang Abadi dalam Setiap Langkah Karya Nursalim Tinggi Turatea Ketua Ikatan Wartawan Online Indonesia Provinsi Kepulauan Riau


 

Di bawah langit yang dipenuhi awan kelabu, dengan hembusan angin yang membawa aroma tanah basah dan dedaunan, kampung kelahiranku, Balangpasui, kembali mengisi ruang dalam ingatanku. Kampung ini lebih dari sekadar tempat tinggal, ia adalah awal mula kehidupan, akar yang menguatkan setiap langkahku hingga hari ini.


Liku Paccammi, jalan berkelok di Balangpasui, menjadi saksi masa kecilku yang penuh kebahagiaan. Bersama teman-teman, kami sering bermain dengan riang di sana, menelusuri sungai menggunakan batang unti, berdayung dengan tangan, sambil mengukir kenangan yang akan terus hidup. Angin yang berdesir seakan membawa cerita masa lalu—tentang jalan licin di Balombonga, sawah yang luas, dan tawa bahagia bersama teman-teman.


Balombonga, jalan terjal yang menghubungkan kampung ini dengan dunia luar, menyimpan kenangan perjalanan pagi kami menuju sekolah. Setiap langkah di sana menjadi bagian dari memori indah bersama teman-teman masa kecil seperti Hasanuddin Tutu, Basri Rasung, Nasir Jawa, Hasanuddin Nuru, Bahtiar Ramada, Daharia Haji Kitta, Jumaria Jubi, dan banyak lagi. Nama-nama itu lebih dari sekadar deretan huruf—mereka adalah kenangan hidup yang tak pernah pudar.


Balangpasui bukan sekadar kampung biasa, ia adalah rumah bagi keluarga besar kami, tempat yang selalu memberikan rasa aman dan penuh kasih. Di setiap sudut kampung, aku mengenang wajah sepupu yang turut mewarnai perjalanan hidupku: H. Kamaria, H. Rohani, Hadaria, Aminah, Kaharimuna, Hasan Basri, Darma Tamma, Rohani Tamma, Jusman, H. Rabbele, H. Jumali, Kamaruddin, Jumaria Jubi, Sahiruddin, Sukriamin, Junaedi Jubi, Sudirman Jubi, Yanti Jubi, Ahmad Lili, Ke’ nang, dan Kanang, serta banyak sepupu lainnya yang tidak bisa kusebut satu persatu. Mereka adalah bagian dari cerita yang tak pernah habis, wajah-wajah yang menjadikan Balangpasui penuh kehidupan.


Keluarga kami memiliki akar yang dalam, berasal dari keturunan Karaeng Tamassele dari Kerajaan Sapayya Gowa. Kami adalah bagian dari sejarah bangsawan, saudara dari Karaeng Rappocini, Karaeng Campagayya, dan Karaeng Mannuruki. Kebanggaan ini bukan hanya sebuah warisan, tetapi juga tanggung jawab untuk menjaga kehormatan nama keluarga.


Orang tuaku, Sandi dan H. Kitta, adalah pilar yang kokoh dalam hidupku. Bersama saudara-saudara mereka—H. Rasia, Saria, Tamma, Masia, Tammu, dan H. Nusu—mereka menjaga warisan keluarga yang sangat berarti. Aku juga mengenang nenekku, Manjali Dg Tewa, serta saudara-saudaranya, Tangarang Dg Bore, Nasang Dg Sangka, dan Bina Dg Kanang. Mereka adalah orang-orang yang menghidupkan cerita masa kecilku dan menjadi penghubung antara generasi yang lalu dan yang akan datang.


Kenangan yang Tak Pernah Pudar


Balangpasui adalah kampung yang berbicara. Setiap sudutnya penuh dengan cerita—dari sawah yang hijau hingga tebing-tebing batu tempat anak-anak bermain. Semua itu mengajarkan nilai kehidupan yang tidak akan pernah aku lupakan. Aku teringat bagaimana nenekku, Manjali Dg Tewa, duduk di beranda rumah sambil menatap jauh ke arah gunung, menceritakan sejarah keluarga kami.


“Kita berasal dari tanah yang sama,” katanya dengan lembut. “Apa pun yang kau capai di luar sana, akar kita tetap di sini.”


Kata-kata itu selalu terngiang dalam pikiranku. Dalam kesibukan hidup yang sering kali membuat kita lupa waktu, aku selalu menemukan diriku kembali kepada akar itu—Balangpasui.


Sekarang, meskipun teknologi menghubungkan kami lewat grup-grup komunikasi seperti grup guru Tew atau grup keluarga, rasa rindu itu tetap terasa. Pesan-pesan yang saling dikirimkan adalah cara kami menyulam kembali kenangan lama dan menciptakan kenangan baru. Nama-nama yang dulu hanya tertulis di lembar kenangan kini kembali hidup dalam percakapan sehari-hari.


Balangpasui, Rumah Sejati


Setiap kenangan indah yang terukir dalam hatiku selalu disertai doa dan harapan yang terus berlanjut. Balangpasui mengajarkanku bahwa hidup adalah tentang memberi makna pada setiap detik yang berlalu. Tempat ini bukan hanya sebuah kampung, tetapi rumah yang sejati.


Di sinilah tawa pertama kali terdengar, di sinilah keluarga menjadi tempat berlindung, dan di sinilah aku menemukan siapa diriku. Dalam setiap desau angin dan gemericik air Liku Paccammi, aku mendengar panggilan untuk pulang—bukan sekadar pulang secara fisik, tetapi pulang kepada nilai-nilai yang membentuk hidupku.


Balangpasui akan selalu hidup dalam hatiku, menjadi bagian dari jiwaku yang tak pernah pudar.


Salam untuk semua, bagaimana kabar Balangpasui sekarang?

Lebih baru Lebih lama